Senin, 31 Oktober 2011

Sembilan semar

ini adalah cerpen yang beberapa waktu lalu di tag oleh dosen saya lewat facebook. cukup menggelitik dan membuat kepala saya penuh dengan pertanyaan - pertanyaan hingga akhir.


SEMBILAN SEMAR

Oleh Seno Gumbiro Ajidarmo

 SIAPAKAH yang percaya Semar itu benar-benar ada? Di dunia ini adakah satu orang saja yang percaya betapa manusia yang buruk rupa, membosankan, dan mulutnya berbusa dengan petuah itu sebenarnya memang ada – cuma saja dia bersembunyi entah di mana? Semar memang ada gambarnya. Ada wayang kulitnya. Ada pula pemain wayang orang yang memerankannya. Semar itu seolah-olah memang ada, jadi nama toko emas, cap batik, merek kecap, trade mark kaos oblong murahan, dan entah apa lagi – tapi apakah ada orang yang bisa percaya Semar itu sebenarnya memang berada di dekat-dekat kita saja? Tidak seorang pun di muka bumi ini bahkan pernah bermimpi, bahwa Semar benar-benar ada. Sampai dia muncul di tengah orang banyak di jalanan itu, mengacungkan telunjuknya yang bergetar ke langit, dan mengeluarkan suara.

"Haeeh..Laeee,laaeee (Teks asli pada cerpen ini: “Oladalah, lae, lae…”)

Suaranya menggelegar di angkasa, selayaknya dewa yang sedang murka. Orang-orang ternganga, tidak bisa mempercayai penglihatannya. Ada yang menggosok mata, ada yang bengong menyeringai saja, ada pula yang coba-coba memotretnya. Semua orang langsung percaya itu memang Semar, tapi sekaligus juga semua orang tidak bisa percaya bahwa Semar itu benar-benar ada. Sama sekali tidak seperti pemain wayang orang. Ia tidak memakai make up. Ia tidak mengenakan kostum. Ia tidak memang topi rambut palsu. Tidak memasang bantal di pantatnya. Ia memang Semar. Asli Semar. Semar tulen. Tapi, bagaimana mungkin Semar itu ada?
Ia berdiri di sana, di bundaran Hotel Indonesia dengan wajah penuh amarah. Ia bukan lagi Semar yang sabar. Orang-orang kaget. Semar yang marah adalah Semar yang berbahaya. Gawat. Jangan sampai ia keluarkan kentutnya. Hancur nanti dunia dibuatnya.
Memang ia Semar. Wibawa yang meyakinkan memancar dari tubuhnya. Jalanan langsung macet. Lampu merah mati tidak berfungsi. Semua orang mendekat. Antara percaya dan tidak percaya semua orang melangkah ke satu arah. Memang ia Semar. Bukan badut Ancol, bukan pemain wayang orang, atau orang gila yang mencoba menarik perhatian. Percaya atau tidak, ia memang Semar, tidak ada yang meragukannya, meski hampir semua orang masih tetap saja tidak habis pikir. Ternyata Semar itu memang ada. Busyet. Mau apa dia?
Tapi Semar belum mengucapkan apa-apa. Bibirnya bergetar menahan perasaan. Orang-orang menunggu. Jika Semar sempat muncul di dunia nyata, pasti ada peristiwa yang luar biasa. Sudah berabad-abad ia bersembunyi saja entah di sudut bumi yang mana. Entah di mana ia tidur, entah di mana ia makan, entah di mana ia menjalani hidupnya sebagai Semar. Apakah ia diam-diam menonton wayang kulit dari balik kegelapan? Apakah ia berada di deret paling belakang ketika Semar muncul hanya untuk diejek-ejek oleh anak-anaknya, Gareng, Petruk, Bagong, dalam babak goro-goro yang merupakan ajang para punakawan menggugat keadaan?

Semar, Semar, oladalah Semar. Memang ia Semar. Badannya gemuk bulat, rambutnya berkuncung putih, mata rembes selalu berair, hidung pesek, dan bibirnya cablik. Memang ia Semar. Katanya laki-laki, tapi dadanya montok dan jalannya megal-megol seperti perempuan. Katanya dewa, tapi penampilan rakyat jelata. Cuma jadi punakawan, tapi kesaktiannya bukan hanya melebihi ksatria, melainkan juga Batara Siwa. Semua orang tahu riwayat hidup Semar – Batara Ismaya yang terkutuk untuk mengabdi kebenaran sepanjang hidupnya. Bila kebenaran berada dalam bahaya, itulah saat Semar untuk muncul mengembalikan kedamaian dunia. Namun apabila ia muncul sekarang, apakah yang akan diluruskannya? Jangan-jangan ia tidak mengerti. Jangan-jangan ia tidak mengikuti perkembangan. Jangan-jangan selama ini ia tidur saja berpuluh-puluh tahun seperti Kumbakarna. Siapa tahu ia tidak tahu bagian bumi yang satu ini baik-baik saja. Sungguh-sungguh aman, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo. Yeah, Well, well, well – apakah yang akan dilakukan Semar? Jangan-jangan ia hanya akan mengacau saja. Banyak orang sudah senang dengan keadaan sekarang. Sudah banyak keuntungan. Seorang Semar yang datang memberi peringatan hanya akan mengacaukan ketenangan.
***
LANGIT mengendap. Matahari sembunyi. Gamelan berbunyi. Seorang intel memberi laporan situasi lewat handphone.
“Ya, betul Komandan, ia memang Semar. Ciri-cirinya cocok. Kulitnya putih seperti kulit sapi. Ia pakai sarung. Telunjuknya menuding ke atas seperti dalam wayang orang, tapi kali ini ia kelihatan marah.”
“Tapi ia memang Semar bukan?”
“Memang Semar, Bos.”
“Huss, bas-bos-bas-bos, Komandan!”
“Siap! Memang Semar, Komandan!”
“Betul-betul Semar?”
“Asli!”
“Bukan Semar gadungan? Awas, hati-hati, dalam cerita wayang banyak tokoh gadungan lho!”
“Ini asli, Komandan! Asli Semar!”
“Kalau begitu saya juga mau lihat ah!”
Komandan itu sudah mau berangkat ketika handphone-nya bertulililit lagi. Seorang intel lain meneleponnya.
“Laporan Komandan! Ada Semar di Patung Pizza.”
“Lho Semar lagi? Maksud kamu di bundaran Hotel Indonesia?”
“Bukan Komandan, saya bertugas di Patung Pizza.”
“Semar di Patung Pizza? Kamu mabok? Kamu tripping ya?”
“Saya tidak tripping Komandan, saya tidak menenggak inex kalau sedang bertugas. Sungguh mati, saya melihat Semar di Patung Pizza.”
“Di atas pizza-nya?”
“Bukan! Di bawah! Sekarang jalanan macet total!”
“Tangkap dia! Pasti yang itu gadungan!”
“Ini asli, Komandan, asli Semar!”
“Busyet, busyet! Pagi-pagi sudah ada kejadian konyol seperti ini. Pasang matamu dengan benar, Semar itu asli atau bukan, soalnya di bundaran Ha-i juga ada Semar!”
“Sungguh mati! Ini Semar asli, Komandan! Kulitnya merah semua!”
Hampir saja handphone Komandan terlepas dari tangannya karena terkejut.
“Merah! Di Ha-i Semarnya putih!”
“Di sana yang gadungan Komandan! Ini betul-betul Semar Merah yang asli!”
“Semar Merah! Semar Putih! Mana yang asli?”
“Lho, Komandan, Semar itu bisa mengubah diri jadi apa saja, jadi ksatria cakap bisa, jadi wanita cantik pun bisa.”
“Tapi mestinya yang asli cuma satu toh?”
“Aduh, Bos…”
“Komandan!”
“Siap! Komandan! Apalah yang tidak mungkin bagi Semar? Saya kira dua-duanya asli, Komandan!”
“Dua-duanya asli! Busyet! Apa yang dilakukan Semar Merah itu di bawah Patung Pizza?”
“Ia menari-nari, Komandan!”
“Menari-nari?”
“Iya Komandan! Semar menarikan tari perang suku Indian!”
“Semar menarikan tari perang suku Indian? Kamu pasti tripping!”
“Sumpah mati Komandan, saya malah belum makan dari pagi.”

Semar yang seluruh tubuhnya berwarna merah memang sedang menari. Badannya yang gemuk berputar-putar dengan lincah membawakan tari perang suku Indian, seolah-olah sedang mengitari api unggun. Langit memperdengarkan bunyi perkusi. Jalanan macet. Orang-orang menonton. Mereka juga belum habis pikir bahwa Semar ternyata memang ada. Meskipun lazimnya Semar itu berwarna putih, tapi Semar yang merah ini sama meyakinkannya seperti Semar. Bukan pemain wayang orang, bukan pula badut Ancol. Memang asli Semar.
***
KOMANDAN itu tidak jadi pergi. Ia tetap berada di dalam kantornya dan berpikir. Ia seorang perwira cerdas lulusan Magelang dengan tambahan kursus-kursus di West Point. Ia tidak mau sembarangan bertindak. Ia bukan orang yang grasa-grusu dan selalu ingin kelihatan gagah. Setiap peristiwa ada maknanya. Setiap makna harus diuraikan tujuannya. Ia harus berpikir dari konteks ke konteks, dari penafsiran satu ke penafsiran lain. Apakah peristiwa ini bermuatan politis? Apakah ada unsur-unsur subversif? Apakah ini cuma cara untuk mengalihkan perhatian dari tujuan sebenarnya? Atau apakah ini cuma semacam teater eksperimental? Belakangan ini intel-intel sering melaporkan, bahwa para seniman sudah semakin nekad melakukan segala cara supaya dirinya terkenal, termasuk mengambil risiko ditangkap petugas keamanan.
Di antara banyak kemungkinan ia memusatkan pikirannya kepada satu hal: apakah ada bedanya jika ini Semar asli atau Semar pura-pura? Memang kedua intelnya melaporkan bahwa kedua Semar ini asli. Tapi, begitulah, apa ya mungkin Semar itu ada? Meskipun begitu, kalau orang-orang ini sudah percaya Semar yang dilihatnya memang asli, apakah masih penting Semar ini asli atau palsu? Ia tetap saja Semar. “Tidak penting benar Semar ini asli atau tiruan,” pikirnya, “yang penting apakah yang dilakukannya mengganggu keamanan.” Kalau Semar asli, ia tidak akan mengacau. Entahlah kalau Semar jadi-jadian. Namun kalau ada yang palsu, bukankah ada yang asli?
Handphone-nya bertulililit lagi.
“Laporan! Ada Semar Hijau di bawah Patung Diponegoro!”
“Busyet,” Komandan itu menggerutu, “memangnya ada berapa Semar di dunia ini?”
“Laporan! Semar Hijau di Patung Diponegoro dikerumuni orang banyak! Apakah yang harus saya lakukan?”
“Apa yang dilakukan Semar Hijau itu?”
“Ia bertapa!”
“Bertapa? Bertapa bagaimana?”
“Bertapa ya bertapa, seperti bersemadi begitu, kakinya bersila, tangannya sedakep, dan matanya terpejam.”
“Apakah ia memang Semar?”
“Asli Semar, Komandan! Jambulnya melambai-lambai tertiup angin!”
“Bagaimana orang-orang?”
“Orang-orang mengerumuninya, mereka menunggu Semar itu menyelesaikan tapanya dan mengucapkan sesuatu.”
“Banyak?”
“Banyak sekali! Situasi hiruk pikuk di sini! Mohon petunjuk!”
“Dasar mental petunjuk! Sudah, kamu di sana saja dan mengawasi terus!”
Sudah tiga Semar muncul hari ini. Semar Putih, Semar Merah, dan Semar Hijau. Apakah maknanya? Semar-Semar ini ketiga-tiganya lebih dari meyakinkan sebagai Semar. Bisa saja ketiga-tiganya Semar asli. Apalah yang tidak mungkin bagi Semar bukan?
Tulililililililit.
“Semar lagi?”
“Semar Hitam, Komandan! Semar Hitam muncul di patung Pemuda Menuding.”
“Sekarang Semar Hitam! Busyet! Apa juga menari-nari?”
“Tidak Komandan! Semar Hitam tidak menari, Semar ber-bungee jumping!”
“Bungee jumping bagaimana?”
“Ia meloncat dari atas Patung Pemuda Menuding, kakinya diikat tali, kepalanya cuma setengah meter dari bumi ketika sampai di bawah, setelah itu ia terbang ke atas patung lagi, dan terjun lagi.”
“Busyet. Bagaimana keadaan?”
“Macet total, Komandan! Jalan tol juga macet! Semar Hitam jadi tontonan! Mohon petunjuk!”
“Petunjuk dengkulmu! Tetap di sana dan awasi terus perkembangan.”

“Siap! Laksanakan!”
***
KOMANDAN minta dikirim helikopter. Dalam waktu singkat ia sudah mengudara. apakah Semar-Semar ini harus ditangkap dengan tuduhan bikin onar? Masalahnya, kalau Semar-Semar ini ditangkap, apakah orang-orang yang sudah percaya bahwa Semar-Semar ini memang Semar tidak akan protes? Komandan itu mengerti benar. Diam-diam orang banyak merindukan Semar. Orang banyak menginginkan Semar datang membawa perubahan. Orang-orang yang terlalu banyak berharap ini mungkin lebih berbahaya dari Semar. Sedangkan Semar itu sendiri, kalau ia memang Semar, kenapa harus takut? Semar itu orang baik. Penyelamat kehancuran dunia. Masalahnya, apakah Semar-Semar ini memang Semar? Memang Semar, Ki Lurah Badranaya dari Karang Tumaritis?
Dari udara, satu per satu, Semar-Semar itu dilihatnya. Semar Putih mengacungkan telunjuknya ke angkasa, dengan bibir bergetar menahan amarah di bundaran Hotel Indonesia. Semar Merah berputar-putar menarikan tari perang orang Indian di Patung Pizza. Semar Hijau bertapa dikerumuni orang banyak di Patung Diponegoro. Semar Hitam menggemparkan dengan atraksi bungee jumping di Patung Pemuda Menuding. Well, well, well, apakah yang akan ditulis koran-koran tentang ini semua? Ini sungguh suatu peristiwa langka, dalam sejarah pewayangan maupun sejarah dunia.
Helikopter yang ditumpangi Komandan mengelilingi Jakarta. Deretan kemacetan yang panjang tampak di mana-mana. Handphone terus menerus bertulilililit melaporkan kehadiran Semar-Semar yang lain. Semar Kuning main skateboard di atas kap mobil-mobil yang macet sepanjang jalan tol. Semar Ungu melakukan aksi duduk di tangga Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Semar Oranye tiba-tiba muncul di layar TV, ia berada di atara para pemain basket NBA, merebut bola dari Michael Jordan maupun Shaquille O’Neal, melakukan slam dunk sampai seratus kali di ring kedua tim.
“Semar sampai ke Amerika?”
“Lho, selain kelihatan dari siaran langsung TV, ini memang laporan intel kita dari Chicago!”

Komandan itu tiba-tiba merasa dirinya tripping, meskipun seumur hidup ia belum pernah menenggak inex. Ketika itu dari udara dilihatnya Semar Biru Metalik menari bedaya di atas simbol Planet Hollywood. Ia belum pernah melihat tari bedaya dibawakan sehalus itu. Yeah. Apalah yang tidak bisa dilakukan Semar?
***
“PULANG ke markas,” kata Komandan kepada pilot.
Ia sudah berpikir untuk menangkap delapan Semar itu dengan jala, karena kemacetan Jakarta sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Semar atau bukan Semar, ia harus patuh kepada hukum. Ia akan mengirimkan delapan helikopter serentak ke delapan penjuru untuk menangkap Semar-Semar itu dengan jala dari udara. “Biarlah ia keluarkan kentutnya yang lebih dahsyat dari senjata nuklir itu,” pikir Komandan, “kami toh selalu siap untuk mati.”
Namun ketika ia masuk kembali ke kantornya, Semar Putih yang tadi dilihatnya di bundaran Hotel Indonesia sudah duduk di kursinya sambil mengusap-usap kuncung.
“Duduk,” kata Semar itu, seolah-olah ia yang punya kantor. Komandan pun duduk, seperti tamu. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa hormat.
“Ananda Komandan tidak perlu menangkap kami dengan jala,” ujar Semar, yang ternyata betul-betul weruh sadurung winarah, “kami tidak akan selamanya show di Jakarta. Tugas kami banyak, bukan cuma di Indonesia saja. Kami datang hanya untuk memberi peringatan.”
“Peringatan apa?”
“Itulah yang harus kalian pikirkan sendiri, karena Semar tidak memberi ceramah. Semar tidak perlu berseminar untuk menjelaskan maksudnya. Semar hanya datang untuk memberi tanda-tanda.”
“Saya mengerti Bapak Semar.”
“Ah, jangan panggil saya Bapak, saya bukan bapak kamu.”
“Jadi bagaimana saya harus memanggil Andika?”
“Panggil Bung saja, Bung Semar.”
“Baik Bapak… eh Bung Semar.”
“Sekarang aku pergi. Jangan khawatir, ketenangan akan kembali. Goodbye. Adios. Ciao!”
“Ciao!”
Semar Putih itu menghilang. Handphone bertulilililit berkali-kali mengabarkan kepergian Semar-Semar yang lain. Hari ini delapan Semar datang ke Jakarta, tulis Komandan itu dalam catatan hariannya, aku sudah berlatih untuk menghadapi setiap kejutan, tapi tidak kejutan seperti ini. Sayang sekali, foto-foto yang dibuat para wartawan tidak ada yang jadi. Sampai sekarang aku tidak tahu, Semar itu sebenarnya betul-betul ada atau tidak.
Senja telah tiba. Hari yang sungguh melelahkan untuk Komandan. Ia ingin segera pulang, ketemu anak-istri, dan berkaraoke. Sebelum ke luar ruangan, ia melihat dirinya di cermin. Di atas cermin itu ada tulisan: Sudah Rapikah Anda Hari ini?
Komandan itu tidak bisa mempercayai matanya.
“Aku? Aku sudah berubah menjadi Semar Fiberglass? ***
(Taman Manggu, Sunday Wage, 6 Oktober 1996. 09:15) Publish




Minggu, 30 Oktober 2011

artwork amatir



DKV
alat : adobe ilustrator


mermaid
alat : kertas, pensil, drawing pen


bocah
alat : adobe ilustrator


karakter buku anak
alat : adobe ilustrator


korean girl
alat adobe ilustrator dan photoshop



awalnya ini logo untuk kompetisi WWF
alat : adobe ilustrator


Sabtu, 29 Oktober 2011

SOE HOK GIE

saya menulis postingan ini sambil dengerin lagunya okta feat eross yang sountracknya GIE, lagu favorit saya,,
jujur saya mengnal sosok GIE adalah ketika saya nonton filmya mba mira lesmana dan mas riri reza beberapa tahun yang lalu. dan inilah soe hok gie, sosok yang menginspirasi saya sejak saat itu hingga sekarang.

soe hok gie

maaf maksud saya ini

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 — 16 Desember 1969 akibat gas beracun.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah keUniversitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

soe hok gie duduk diatas pilar triangulasi, puncak pangrango 1967

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman- temanya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: 
 “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

makam soe hok gie ( tanah abang I )

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

dan akhirnya dapet juga bukunya yang "catatan seorang demonstran", itupun seconhand^^

referensi : blognya jay adalah julian ( Kontemplasi emosi dan pikiran dalam tulisan ) trims :)
                Memoar of Soe Hok Gie / biograph trims :)

Jumat, 14 Oktober 2011

hari ini saya mau ke cibereum^^

saya tulis ini sebelum saya berangkat ke cibereum kra-kira jam sembilan nanti, ada banyak perubahan rencana bahkan sejak keberangkatan ini direncanakan :(
sekarangpun yang tadiniya harus berangkat jam tujuh  harus diundur lagi jam sembilan, pokoknya good luck deh buat hari ini^^
  
hehe.... agak maksain yah nulis postingan suma sedikit kaya gini :P

Kamis, 13 Oktober 2011

we named our selves len-c

assalamuallaikum..

actually,, there is no atention to write anything but, I feel so upset now. and I have to write something to feel better :(
so, what will I post tonight??
a little bit confused, but I think it would be nice if at the moment like this there are friends that can comfotrt us. well.. tonight I will introduce my best friends to all of you.

yay!! they are len-c^^ yes, we named our selves len-c ( thats cool right??  xo xo xo ) 


from the left eby, mbak papat, me and ati.. actually there are two more teh ika dan teh feny

and this is they are
we are happy to laugh, especially eby and me. sometimes we often joke like a child but it was all very enjoyable, I felt so comfortable with them and with them anyway I can be my self.
because happyness is when we feel comfrotable with what we have, where we are and with whom we spend time

Sabtu, 01 Oktober 2011

wayang vs raditya dika

awalnya shih, saya ingin menulis tentang wayang yang memang sudah beberapa tahun terakhir menarik perhatian saya. tapi yang terjadi saya malah buka jendela baru dan blogwalking di blognya raditya dika. liat video stand up comedynya di bandung ( gila lucu abis^^ ), sampe ngakak liatnya XD
well, postingan yang baru sempet di tulis judulnya doang ( WAYANG ) langsung terlupakan karena sibuk ngetawain video yang berdurasi 11 menit 57 detik itu. alhasil pas balik lagi ke jendela entri I forgot everything I wanted to write hahaha... dan judul entripun berubah jadi wayang vs raditya dika

www.radityadika.com
gambar diambil dari www.gadis.co.id

well, soal wayangnya mungkin akan saya posting lain kali xo xo xo XD
sekalian menunggu artwork wayang yang saya buat dan belum sempat saya scan hehe.. see u^^